Pengendalian Tanpa Eksekusi (2)



Oleh: Ervyn Kaffah

TERUS TERANG, saya termasuk yang belum beruntung menemukan argumen teknis untuk menjelaskan fakta realisasi proyek pembangunan gedung RSUP NTB Dasan Cermen sampai akhir tempo tidak mencapai 25 persen, tahun lalu. Penjelasannya saya duga menjangkau sisi lain, yaitu sejauhmana proses e-procurement  dilaksanakan secara memadai untuk memperoleh penyedia barang jasa yang tepat.  Hal ini diperkuat oleh fakta-fakta seturut yang berhasil dihimpun. Penyedia pemenang lelang ternyata tidak memiliki bank garansi, rekening banknya diblokir, dan saat itu telah berbulan-bulan menunda kewajibannya melunasi hutang pada sejumlah pemasok material dan tenaga bagi pengerjaan proyek.

Kesimpulan sementara saya, proyek itu gagal karena penyedia yang dipilih dalam pelaksanaan lelang itu tidak bonafid. Tidak memiliki sumber pembiayaan untuk mengerjakan proyek, walau telah mendapat kemudahan memperoleh uang muka dari pemerintah. Sebuah kesimpulan yang bagi saya pribadi ingin saya tolak sekuat-kuatnya karena pada dasarnya yang sedang dipertanyakan adalah integritas pelaksanaan pengadaan  di lingkup Pemprov NTB.

Urgensi Pengendalian Anggaran
Selain pentingnya pengendalian kegiatan APBD pada sisi makro mengingat kontribusinya dalam menggerakkan ekonomi daerah,  baik dari sisi belanja yang dikucurkan ke sejumlah sektor maupun feed back berupa pengembalian penerimaan berupa pajak ke kas daerah, kasus proyek gagal di RSUP NTB itu juga mempertemukan kita dengan beberapa dimensi lain untuk menekankan urgensi pengendalian yang efektif.

Ada sangat banyak masyarakat kita bergantung pada kelancaran proses pengadaan dan pengerjaan fisik proyek-proyek pemerintah. Dalam proyek gagal RSUP NTB itu saja, ada puluhan pemasok bahan dan material beserta jaringannya, serta penyedia tenaga kerja dan ratusan tenaga kerja yang  berburu rejeki untuk kehidupan keluarganya. Para pemasok material misalnya, mengingat nominal rupiah yang dibicarakan, umumnya tidak bekerja sendiri. Mereka berhubungan dengan produsen, distributor, pihak lain sebagai pemberi modal atau  bekerja dengan modal dari penjamin tertentu yang bankable. Penundaan pembayaran oleh kontraktor proyek pemerintah berkonsekwensi biaya tambahan yang harus mereka bayar, baik berupa beban tambahan akibat pelampauan waktu maupun membayar (tambahan) bunga pinjaman perbankan. Dampak juga dirasakan para produsen material dan tenaga kerja lokal. Mereka semua adalah warga kita, saudara kita semua, warga NTB tercinta. Dengan menuliskan ini, saya berharap para pelaksana proyek di jajaran birokrasi dan pihak penyedia tergerak hatinya untuk bekerja lebih hati-hati dan bersungguh-sungguh.

Hubungan antara kinerja pengadaaan dan pelayanan publik juga sangat terlihat jelas dalam proyek RSUP NTB ini. Sebelumnya, Gubernur NTB TGH M. Zainul Majdi telah merencanakan untuk memindahkan pelayanan ke komplek RSUP NTB baru pada awal tahun 2015. Pilihan yang menunjukkan respon strategis pemerintah, apalagi dilengkapi situasi semakin padatnya pelayanan di komplek lama akibat kebakaran yang menghanguskan sebagian fasilitas kesehatan.  Namun harapan Gubernur yang juga menjadi kebutuhan mendesak masyarakat itu terpaksa tertunda hingga akhir tahun akibat pelaksanaan proyek yang gagal.

Sementara itu, dalam kasus proyek Jalan Lingkar Gili Trawangan, waktu sudah menjelang injury time ketika kepala SKPD menjelaskan proyek terhambat karena sulit mengangkut material ke pulau wisata bebas kendaraan bermotor itu. Kapan informasi itu ia terima, dan mengapa atasannya tak mengetahui soal itu hingga hampir selesai batas tempo pelaksanaan proyek? Ironis, masalah itu bukan segera diselesaikan melainkan harus menunggu untuk dibahas dalam forum Rapim oleh Gubernur.  Yang lebih parah, setelah waktu proyek diperpanjang, pekerjaan tidak berhasil diselesaikan namun malah dilaporkan sudah selesai hingga menjadi temuan BPK. Demikianlah, segala kelemahan sebisa mungkin ditutupi, Asal Bos Senang? Meski demikian, saya juga selalu mengingatkan diri sendiri, apa yang muncul di permukaan belum tentu seperti kenyataannya. Selalu  ada hal lain yang tak mungkin (tak kuasa) untuk diungkapkan.

Birokrasi pemerintah pada dasarnya telah disusun dalam pembagian jenjang eselon, dimana dengannya ada pembagian tugas dan kejelasan wewenang yang memungkinkan pembagian beban kerja antara berbagai eselon. Jikalau para staf atau pejabat eselon bawah menghadapi kendala yang tidak bisa ditanganinya, ia (mereka) dapat menyampaikannya kepada atasan langsungnya,agar dapat dibantu atau diberikan solusi.  Kendala dalam pekerjaan pada beberapa sisi hanya dapat diatasi oleh pejabat eselon lebih tinggi dengan wewenang yang lebih besar dan luas, termasuk diantaranya diskresi yakni kebijakan yang diambil walau belum ada pengaturan mengenainya, namun dalam keadaan mendesak harus segera diputuskan mengingat dampaknya bagi kepentingan umum. Pada titik tertinggi, ketika semua jajaran pejabat tidak mampu menanganinya, maka  masalah itu disampaikan kepada pimpinan daerah sebagai penanggungjawab seluruh kegiatan APBD.

Kegiatan pengendalian yang efektif dengan pendokumentasian yang baik dapat menjadi instrumen bagi atasan untuk menilai kinerja bawahan secara bertingkat. Khusus untuk pimpinan daerah, kritik mengenai penempatan dan promosi pejabat setiap kali mutasi dilaksanakan dapat ditanggapi dengan menunjukkan secara terbuka catatan kinerja pejabat berbasis dokumentasi kegiatan pengendalian. Pengendalian yang efektif dapat membuka ruang untuk mencegah politisasi birokrasi dan penempatan pejabat atas dasar like and dislike tanpa ukuran yang obyektif. Sementara bagi publik, semakin sering seorang pejabat masuk daftar zona kuning dan zona merah maka penilaian terhadap kinerjanya juga dapat langsung dilaksanakan. Singkatnya akuntabilitas penempatan dan kinerja jajaran birokrasi kini mulai lebih terbuka.

Saya berharapan besar bahwa uraian diatas dapat meyakinkan Anda semua, sidang pembaca, pengendalian kegiatan APBD penting dipertajam dan perlu diperluas hingga ke level pemerintah kabupaten dan kota, serta mendapat perhatian semua pihak untuk terus dikritisi.

Sistem Informasi dan Tindakan
Pokok dari kegiatan pengendalian yang efektif ialah sejauhmana masalah dalam business process kegiatan APBD atau pelaksanaan anggaran bisa dideteksi secara dini, dikendalikan dan segera diambil tindakan untuk mengatasinya. Pembagian zona kinerja, pencatatan status realisasi pada setiap tahap pengadaan, dlsb,  ditujukan untuk mempermudah pengambilan keputusan guna mengatasi masalah. Karenanya, sejauhmana informasi mengenai potensi masalah bisa diperoleh pejabat berwenang tepat waktu dan akurat sangatlah krusial, sebagaimana pentingnya aliran informasi kebijakan dan keputusan eksekusi dari atasan kepada bawahan. Karena itu selain aspek teknis lainnya, evaluasi terhadap sistem informasi dan komunikasi dari level bawah ke atas atau sebaliknya, dan horizontal antar-pejabat yang berwenang koordinatif penting diperhatikan. 

Selanjutnya, bagaimana pejabat berwenang benar-benar mengambil tindakan dari berbagai alternatif tersedia. Bukan mengacuhkannya atau menyimpan informasi hingga keadaan menjadi buruk dan sulit ditangani. Tidak ada yang lebih buruk dari petugas berwenang yang telah mengetahui adanya potensi masalah namun memilih mencari alasan untuk tidak menanganinya atau melemparkan kesalahan kepada pihak lain.

Hemat saya pribadi, managemen yang baik seyogyanya tidak perlu menimbulkan rasa takut dan tertekan bagi segenap staf, melainkan mendorong staf terbuka menyampaikan masalah yang sulit ditanganinya sehingga dapat segera ditindaklanjuti dan dibantu oleh atasannya. Lebih dari itu, ada yang lebih berat dari rasa takut atas teguran yakni apa yang disebut sebagai rasa bosan ketika tekanan terus datang tapi insentif atas prestasi tak kunjung datang. Pimpinan hendaknya juga memiliki rasa bertanggungjawab. Jajaran manager pemerintahan ada baiknya memikirkan pengembangan sistem informasi mengenai kinerja personal pejabat atau petugas pengadaan dan tersedianya sistem insentif (baik positif maupun negatif)  berbasis kinerja personal. Sistem tersebut akan mempermudah penetapan penghargaan (reward) dan sanksi kepada personal staf dan pejabat, bukan dengan cara usang segenap pujian untuk atasan dikala kerja sukses namun saat ada masalah selalu staf yang ditunjuk sebagai biang masalah.

Rekayasa pembenahan birokrasi dewasa ini dihadapkan pada tantangan baru. Tak lagi sekedar mengambil pilihan menemukan best practices (praktek terbaik) dan pembelajaran dari beberapa unit terbatas sebagai piloting project, jajaran strategis pemerintah pada semua lini ditantang untuk secara gradual mulai mendorong perubahan dengan jangkauan yang lebih luas. Memastikan semua rangkaian sistem berjalan efektif guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan meningkatkan pelayanan publik.  Dalam lanskap itu pula, kegiatan pengendalian APBD memiliki tujuan menengah hingga menjangkau perubahan perilaku birokrat dan kultur umum birokrasi. Melalui kegiatan pengendalian yang efektif diharapkan beberapa kebiasaan lama bisa dikurangi dan dapat dibangun kultur baru birokrat yang bersih dan profesional.  Kebiasaan lama seperti Asal Bos Senang dan Mencari Siapa yang Salah atau Melemparkan Kesalahan kepada Orang Lain harus mulai ditinggalkan, digantikan kebiasaan baru jajaran birokrasi untuk bekerja keras, solutif, dan terukur dengan sistem kendali yang berkesinambungan.

Tentu saja, adalah pilihan buruk untuk terus menerus terkepung masalah, terlebih lagi baik-buruknya kinerja birokrasi menyimpan konsekwensi besar bagi perkembangan kesejahteraan umum. Berbagai upaya Pemprov NTB untuk memperbaiki sistem dan kultur birokrasi merupakan  bagian dari komitmen untuk peningkatan pelayanan masyarakat, apalagi selalu ada pihak yang resisten terhadap perubahan. Karenanya, apresiasi dan masukan bagi  pemerintah untuk terus berbenah haruslah tetap diberikan ruang yang layak. Sudah sejak jauh hari disadari, pemerintahan yang mendapat apresiasi dari warga yang dilayaninya pastilah jauh lebih berarti daripada pemerintahan hambar yang tidak dipedulikan masyarakat. Kiranya, itu sebabnya pemerintahan  tidak cukup sekedar berkeinginan melayani (to serve)  dan mau bersih (clean government), melainkan secara substansial harus pula mau terbuka (open governmet).


ERVYN KAFFAH
Sekretaris Jenderal FITRA NTB

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BARIS VIDEO